Makalah Tentang Contoh Kasus Korupsi Akbar Tanjung
A. Kasus Korupsi Akbar
Tanjung
1.
Kronologi Kasus Akbar Tanjung
11-02-1999 : Rapat
terbatas Presiden Habibie, Mensesneg Akbar Tanjung, Menko Kesra Haryono Suyono
membahas rencana pengeluaran dana Bulog Rp. 40 miliar untuk penyaluran sembako.
02-03-1999 : Deputi
Keuangan Bulog Ruskandar, bersama Ishadi Saleh (rekanan Bulog) menyerahkan dua
cek masing-masing senilai Rp. 10 miliar kepada Akbar. Akbar lalu menyerahkan
cek kepada Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat (bendahara dan wakil bendahara DPP
Golkar).
07-03-1999 : Deklarasi
Partai Golkar (biaya dikaitkan cek Rp. 20 miliar).
20-04-1999 : Ruskandar
menyerahkan 8 lembar cek senilai Rp. 40 miliar, yang dipecah-pecah jadi Rp. 2
miliar dan Rp. 3 miliar atas permintaan Akbar.
01-02-2001 : Menko
Perekonomian/Kepala Bulog Rizal Ramli menyatakan ada dana Bulog senilai Rp. 90
miliar yang masuk ke kas Golkar.
13-02-2001 : Menhan
Mahfud M.D. juga menyatakan Golkar menerima dana Rp. 90 miliar dari Bulog
menjelang Pemilu 1999.
09-07-2001 : Mantan
Kepala Bulog Rahardi Ramelan ditetapkan sebagai tersangka, tetapi saat itu
Rahardi masih berada di luar negeri dalam waktu lama.
09-10-2001 : Rahardi
memenuhi panggilan Kejagung dan mengaku cek
Rp. 40 miliar diserahkan kepada Akbar, Rp. 10 miliar untuk Menhankam
Wiranto, dan Rp. 4,6 miliar diserahkan kepada PT. Goro Batara Sakti sebagai
pinjaman.
11-10-2001 : Akbar
mengaku menerima dana, tetapi diserahkan kepada yayasan yang ia lupa namanya.
Belakangan Akbar membantah menerima uang, tetapi hanya melihat Ruskandar
menyerahkan cek kepada yayasan.
31-10-2001 : Akbar
diperiksa Kejagung dan menyebut Yayasan Raudatul Jannah.
20-11-2001 : Ruskandar
bersaksi dana benar-benar di terima Akbar.
21-11-2001 : Akbar
mengaku hanya melihat cek digeletakkan di atas meja ruang kerjanya.
03-12-2001 : Jaksa
Agung M.A. Rahman menyatakan Tim Kejagung tidak menemukan bukti penyaluran
sembako di daerah, seperti pernah disebut Akbar, Dadang Sukandar (Ketua
Yayasan), dan Wilfred Simatupang (rekanan).
10-12-2001 : Diperiksa
Tim Kejagung di Hamburg, dan mengaku tidak pernah menerima laporan tertulis
maupun lisan dari Akbar soal pelaksanaan penyaluran sembako, ini sekaligus
membantah pengakuan Akbar, bahwa ia telah melaporkan secara lisan kepada
Habibie.
05-01-2002 : Presiden
Megawati memberikan izin bagi Kejagung untuk menetapkan Akbar sebagai
tersangka.
07-01-2002 : Kejagung
resmi menetapkan Akbar sebagai tersangka.
09-01-2002 : Kejagung
membentuk tim untuk menyidik kasus dugaan penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog
dengan tersangka Akbar Tanjung, Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar,
dan Kontraktor Pengadaan dan Penyaluran Bahan Kebutuhan Pokok Winfried
Simatupang.
14-02-2002 : Walaupun
sudah berstatus tersangka, Kejagung tetap mengizinkan Akbar menunaikan ibadah
haji untuk kali kedua.
28-02-2002 : Rahardi
Ramelan ditahan di LP Cipinang Jakarta .
07-03-2002 : Setelah
menunaikan ibadah haji, Kejagung secara resmi menahan Akbar di Rumah Tahanan
Kejagung. Proses penahanan Akbar melalui peristiwa kontroversial. Dia berusaha
melarikan diri.
25-03-2002 : Sidang
Perdana kasus Akbar dkk. digelar di PN Jakarta Pusat jalan Gajah Mada kawasan
Harmoni. Sidang perdana memacetkan lalu lintas di kawasan tersebut. Saat
menghadapi sidang. Akbar mengganti tim pengacaranya yang semula beranggotakan
Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dan Tommy Sihotang menjadi Amir Syamsudin,
Denny Kailimang, Martin Pongrekun dan kawan-kawan.
05-04-2002 : Penahanan
Akbar ditangguhkan berdasarkan Surat Penetapan Majelis Hakim PN Jakarta Nomor :
449.Pid.B/2002/ PNJKTPST.
01-05-2002 : Lokasi
sidang Akbar dipindah ke hanggar Hall B Arena PRJ Kemayoran, karena pengunjung
yang selalu membeludak tidak dapat ditampung di gedung PN Jakpus.
05-06-2002 : Lokasi
sidang dipindah ke Gedung Serbaguna BMG, sebab Arena PRJ dimanfaatkan untuk
perhelatan menyambut HUT Kota Jakarta (Jakarta Fair).
24-07-2002 : JPU
yang diketuai Fachmi, SH menuntut Akbar dengan hukuman empat tahun penjara.
Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang masing-masing dituntut tiga tahun enam
bulan penjara.
04-11-2002 : Majelis
hamik PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 3 tahun penjara bagi Akbar (tuntutan
jaksa 4 tahun), dalam sidang di Gedung BMG, Kemayoran Jakarta, Akbar mengajukan
Banding.
17-01-2003 : Pengadilan
Tinggi Jakarta menolak permohonan Banding, dan mengukuhkan putusan PN Jakarta
Pusat (3 tahun). Penasehat hukum Akbar, Amir Syamsudin, mengajukan kasasi ke
MA.
29-01-2004 : Lima hakim agung, yang
dipimpin Paulus Effendi Lotulung, menunda putusan kasasi pada tanggal 4
Februari 2004.
04-02-2004 : Hakim
kembali gagal mencapai kata sepakat, dan menunda putusan pada tanggal 12
Februari 2004.
12-02-2004 : Melalui
persidangan yang berlangsung selama hampir 9 jam (10.00 – 18.52), Majelis Hakim
Agung yang diketuai Paulus Effendi Lotulung, akhirnya mengabulkan kasasi yang
diajukan terdakwa I Ir. Akbar Tanjung, terdakwa II Dadang Sukandar, dan
terdakwa III Winfried Simatupang. Dengan dikabulkan kasasi tersebut, Akbar
Tanjung bebas. Adapun Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang mendapatkan
hukuman yang lebih ringan. Semula oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Dadang
dan Winfried diganjar hukuman 3 tahun penjara. Namun dengan dikabulkannya
kasasi yang mereka ajukan, kini hanya mendapatkan hukuman penjara 1 tahun 6
bulan potong masa tahanan.
Dalam amar putusan terdakwa Akbar
Tanjung tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan kepadanya. Baik dalam dakwaan primer (penyalahgunaan
wewenang dan jabatan) maupun subsider (memperkaya diri sendiri, orang lain atau
golongan). Oleh karena itu, majelis hakim membebaskan dia dari dakwaan primer
dan subsider.
Majelis hakim juga menyatakan bahwa
terdakwa II dan III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sesuai dengan dakwaan primer. Oleh karena itu, mejelis hakim membebaskan
kedua terdakwa itu dari dakwaan primer. Namun majelis hakim menyatakan, kedua
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama (dakwaan subsider).
Pada bagian lain pertimbangannya,
majelis berpendapat bahwa Akbar hanya menjalankan perintah lisan Presiden B.J.
Habibie. Perintah lisan itu diakui dalam Hukum Administrasi Negara, apalagi ada
alasan yang darurat. Penyaluran semabko bukan inisiatif Akbar, melainkan
inisiatif presiden. Dengan demikian, presiden yang akan mempertanggungjawabkan
hal ini secara politis. Dalam hal ini Akbar hanya membantu presiden dengan
mengoordinasi proyek tersebut.
Penunjukkan terdakwa II dan III
dilakukan Akbar setelah mendapatkan rekomendasi dari Menko Kesra saat itu,
yaitu Haryono Soeyono. Penyerahan dana untuk pengadaan dan penyaluran sembako
juga tidak dijadikan alasan untuk menjerat Akbar terlibat dalam penggerogotan
uang negara. Sebab tidak ada satu bukti yang menyebutkan Akbar memang berencana
menyalahgunakan uang tersebut.
Bukti muncul dipersidangan
menyebutkan, penyalahgunaan atau penyimpangan justru terjadi setelah uang
berada ditangan terdakwa II dan III. Akbar baru mengetahui ketidak beresan yang
Rp. 40 miliar setelah menjalani penyidikan kasus tersebut.
Uang Rp. 40 miliar tersebut berada
ditangan terdakwa II dan III selama lebih dari dua tahun. Bukannya digunakan
untuk tujuan semula, yaitu pengadaan dan penyaluran sembako kepada rakyat
miskin. Oleh majelis hakim, Dadang dan Winfried dianggap melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan norma-norma, dalam hal ini bertentangan dengan asas
keharmonisan dalam bertindak yang semestinya kepada orang lain.
Mengenai perbuatan yang dilakukan
secara bersama-sama, majelis berpendapat, hal itu dipenuhi oleh terdakwa II dan
III. Sebab terdakwa II mengajak terdakwa III dan menyuruh melakukan pemaparan
berkaitan proyek pengadaan dan penyaluran sembako tersebut. Selain itu terdakwa
II menyerahkan dana kepada terdakwa III. Selanjutnya dilakukan oleh terdakwa
III untuk hal-hal lain seperti membeli dolar. Walaupun akhirya uang sebesar Rp.
40 miliar tersebut dikembalikan, hal tersebut tidaklah meniadakan sifat melawan
hukum. Pengembalian uang tersebut hanya merupakan hal yang dapat meringankan
hukuman keduanya.
MA berpendapat, sudah mendapat alasan
yang cukup untuk mengabulkan kasasi yang diajukan Akbar Tanjung, Dadang
Sukandar, dan Winfried Simatupang. Dengan demikian, vonis itu sekaligus
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 17 Januari 2003 dan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 4 September 2002.
Seusai majelis hamim membacakan
pendapat hukum yang mengatakan pengabulan kasasi Akbar, Ketua Majelis Paulus
kemudian mengetukkan palunya. Selanjutnya mempersilahkan anggota majelis
Abdurrahman Saleh untuk membacakan dissenting
opinion atau pendapat yang berbeda dalam kasasi tersebut.
Pukul 18.32, Abdurrahman Saleh
membacakan pendapatnya yang berbeda dari anggota majelis lain. Mengenai
penyalahgunaan wewenang dan jabatan, Akbar tidak terbukti melakukan perbuatan
yang pantas untuk mencegah kebocoran uang negara di tengh kondisi negara yang
terpuruk saat itu. Hal ini dikuatkan dengan keterangan saksi ahli selama
persidangan, yaitu Edi Subagja (Direktur Investasi BUMN dan BUMD) dan Hatomi,
Direktur Pembinaan Anggaran BPKP. Yaitu untuk proyek senilai Rp. 40 miliar
harus ada tender dan harus ada keppres. Harus ada pimpro, penyerahan uang
haruslah secara bertahap sesuai dengan prestasi kerja pelaksana yang ditunjuk,
yayasan harus berbedan hukum, mempunyai NPWP, dan kemampuan prakualifikasi bidang
pengadaan barang yang dimaksud, serta menyerahkan bank garansi. Harus ada
laporan kepada presiden, sementara itu presiden menyatakan tidak pernah
menerima laporan dari Akbar terkait dengan penyaluran sembako.
Selain itu pada tanggal 22 Maret
1999, BPKP sudah membuat surat
teguran kepada Bulog agar menghentikan penerimaan dan pengeluaran nonneracanya.
Namun, saran itu tidak dituruti oleh Kepala Bulog saat itu. Rahardi Ramelan
mempertan apa yang disebut keadaan darurat yang menjadi alasan dikeluarkannya
perintah lisan presiden untuk mengeluarkan dana Rp. 40 miliar tersebut. Mengapa
presiden tidak secara resmi mengumumkan keadaan darurat bila itu memang benar
terjadi. Sebab hal itu diperlukan agar upaya penanganan terhadap keadaan
tersebut dapat terkoordinasi dengan baik. Apakah saat itu negara benar-benar
dalam keadaan darurat seperti terjadinya serangan musuh atau bencana alam yang
dasyat. Hal itu sama sekali tidak terjawab selama persidangan. Akhir
pendapatnya menyatakan menolak kasasi Akbar, namun itu semua tidaklah mengubah
putusan MA terhadap kasus Akbar. Akhirnya pada pukul 18.52 sidang resmi
ditutup.
2.
Beberapa Catatan Selama Sidang Kasus Korupsi Akbar Tanjung
Majelis hakim PN Jakarta Pusat
menolak semua eksepsi tim penasihat hukum terdakwa I Ir. Akbar Tanjung. Majelis
hakim berpendapat, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cukup lazim dan cukup baku , serta telah memenuhi
syarat formil dan materiil. Dalam proses formulasinya sudah bisa diterima,
seperti halnya perkara yang terdakwanya berkaitan, yaitu kasus ruislag Bulog Goro yang melibatkan
Hutomo Mandala Putra, Ricardo Gelael, dan Beddu Amang. Oleh karena itu, majelis
hakim berpendapat, dakwaan jaksa tidaklah kabur. Keberatan tim penasehat hukum
terdakwa bahwa dakwaan tidak cermat dan tidak beralasan hukum, maka seluruh
keberatan ditolak. Seusai membaca putusan sela, majelis hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara. Majelis hakim mempersilahkan jaksa untuk menanggapinya.
Ketua tim jaksa langsung menyatakan menerima putusan tersebut. Sementara itu,,
tim penasihat hukum Akbar menyatakan menyatakan banding terhadap putusan sela
tersebut. Walaupun KUHAP tidak mengatur secara jelas adanya banding terhadap
putusan atas keberatan, namun penasihat hukum, mohon dicatat bahwa tim
penasihat hukum menyatakan banding atas putusan sela tersebut. Menanggapi
banding itu, majelis hakim mengatakan bahwa hal tersebut akan dicatat di berita
acara persidangan, namun tidak menghalangi jalannya proses perkara. Atas
jawaban majelis hakim, tim penasihat hukum terdakwa juga menginformasikan bahwa
memori banding akan disertakan saat pengajuan pleidoi. Sebelum menutup sidang, hakim meminta jaksa untuk
mengajukan nama-nama saksi yang akan diperiksa.
Dalam kasus tuntutannya setebal 379
halaman, jaksa menyatakan bahwa ketiga terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana korupsi sesuai dengan dakwaan primer, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub b jo.
Pasal 28 jo. Pasal 34 C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 43 A
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa
menyatakan, karena dakwaan primer terbukti dan memenuhi syarat maka dakwaan
subsider tidak perlu dibuktikan lagi.
Hal-hal yang meringankan terdakwa
adalah mereka belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga, mengikuti
proses persidangan dengan baik dan sopan. Terdakwa III Winfried Simatupang
dinilai lebih meringankan atau memperlancar jalannya proses persidangan dengan
telah mengembalikan uang Rp. 40 miliar, yang berarti tidak ada kerugian negara.
Yang memberatkan ketiga terdakwa adalah telah menampilkan kebohongan dalam
persidangan, yang berdampak menjadi kebohongan publik. Dengan memberikan
keterangan yang janggal dan tidak masuk akal di muka persidangan. Selain itu,
terdakwa telah memanfaatkan kemiskinan yang saat itu melanda sebagian besar
rakyat Indonesia ,
lewat sebuah persekongkolan jahat untuk kepentingan di luar kepentingan
kemanusiaan. Serta merealisasikan perbuatan jahat itu lewat sebuah yayasan
Islam dan memanfaatkan orang-orang yang tidak jelas jati dirinya.
Akbar Tanjung dinilai terbukti secara
sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kerupsi secara bersama-sama
dengan ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar dan kontraktor pelaksana
program pendistribusian sembako Winfried Simpatupang. Jaksa menuntut terdakwa I
Akbar Tanjung dengan hukuman pidana 4 tahun penjara. Adapun untuk terdakwa II
Dadang Sukandar dan terdakwa III Winfried Simatupang, masing-masing dituntut
pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Selain itu, ketiga terdakwa dituntut membayar
denda masing-masing Rp. 10.000.000. Selain menuntut ketiga terdakwa dengan
hukuman seperti diatas, jaksa meminta kepada ketua majelis hakim untuk
menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pada saat vonis
dijatuhkan, ketiga terdakwa langsung dipenjarakan walaupun ada putusan
berkekuatan hukum tetap.
Setelah pembacaan tuntutan selesai,
ketua majelis hakim mempersilahkan pihak Akbar untuk menentukan kapan pleidoi disampaikan. Ketua majelis hakim
menawarkan waktu selama dua minggu untuk mempersiapkan pleidoi. Hal itu sesuai dengan waktu yang diminta jaksa, yaitu dua
minggu untuk menyiapkan tuntutan. Seusai konsultasi, tim penasihat hukum
menyatakan siap menyampaikan pleidoi-nya
pekan depan. Majelis hakim menutup sidang pada pukul 19.00 dan akan melanjutkan
sidang minggu depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan alias pleidoi oleh kuasa hukum Akbar, serta pleidoi untuk terdakwa Dadang Sukandar
dan Winfried Simatupang.
Dalam pembelaaannya tim pengacara
mengemukakan , tuntutan jaksa dianggap hanya mengacu pada surat dakwaan yang baru sama sekali. Itu
berbeda dengan dakwaan semula. Dakwaan baru tersebut hanya berada dalam
imajinasi penuntut umum. Oleh karena itu, bisa dikatakan sebagai dakwaan
fiktif. Dalam pleidoi-nya menilai
tuduhan jaksa sarat bermuatan politis yang lebih merupakan penistaan terhadap
dia sebagai terdakwa yang masih menjabat sebagai Ketua DPR RI, sekaligus Ketua
Umum Partai Golkar. Saya memandang tuduhan tersebut sarat dengan muatan
politis. Setelah memaparkan berbagai aspek, pada akhir nota pembelaannya, Akbar
meminta agar manjelis hakim membebaskan dari segala tuduhan. Tim pengacara
meminta mejelis hakim menolak bukti petunjuk yang diajukan jaksa.
Jaksa mengemukakan kepada wartawan
bahwa pernyataan tim pengacara sangat keliru, sebab hanya mengambil
sepotong-sepotong saja dari tuntutan yang diajukan. Pokoknya, semua akan
dikemukakan dalam jawaban (replik) oleh jaksa.
Majelis hakim PN Jakarta Pusat
menjatuhkan vonis tiga tahun penjara bagi Akbar Tanjung dalam kasus
penyelewengan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp. 40 miliar. Terdakwa II Dadang
Sukandar dan terdakwa III Winfried Simatupang, masing-masing dijatuhi hukuman
satu tahun enam bulan. Majelis hakim menyatakan, Akbar Tanjung terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan
Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang. Alasan yang memberatkan adalah
perbuatan mereka yang merugikan perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional, merugikan masyarakat miskin yang berhak menerima sembako, dan
kesengajaan mereka dalam menggunakan yayasan yang berlabel Islam. Perbuatan
mereka dinilai hakim telah menurunkan kredibilitas citra pemerintah dimata
masyarakat. Hal-hal yang meringankan adalah mereka belum pernah dihukum dan
memiliki tanggung jawab keluarga (tanggungan keluarga). Winfried Simatupang
telah mengembalikan dana Rp. 40 miliar, dan mereka dinilai tidak menghambat
atau mempersulit persidangan. Selain hukuman penjara tersebut, ketiganya
dikenai denda masing-masing Rp. 10 juta atau subsider tiga bulan penjara, serta
membayar biaya perkara masing-masing Rp. 7.500,00 majelis hakim juga
memerintahkan dana Rp. 40 miliar yang dikembalikan Winfried Simatupang disita
untuk kepentingan negara. Dokumen yang disita diserahkan kepada jaksa untuk
kepentingan kasus-kasus lainnya. Dalam keputusan tersebut, majelis hakim tidak
memerintahkan ketiganya langsung masuk penjara.
Seusai pembacaan putusan, pada pukul
18.18 majelis hakim mempersilahkan Akbar Tanjung menentukan sikap. Akbar
Tanjung kemudian berunding dengan tim
penasihat hukumnya. Jawaban Akbar Tanjung : “Majelis hakim yang saya hormati
saya menyerahkan sepenuhnya kepada panasihat hukum untuk mengambil langkah
hukum.” Kuasa hukum (Penasihat Hukum) Akbar Tanjung kemudian mengatakan : “Atas
nama terdakwa I, kami mengajukan banding.” Sementara itu penasihat hukum
terdakwa II dan III mengatakan masih pikir-pikir atas putusan tersebut. Hal
serupa juga dinyatakan oleh jaksa penuntut umum.
Tanggal 17 Januari 2003, Pengadilan
Tinggi Jakarta menolak permohonan banding Akbar Tanjung dan mengukuhkan putusan
PN Jakarta Pusat.
0 Response to "Makalah Tentang Contoh Kasus Korupsi Akbar Tanjung"
Posting Komentar